Rabu, 15 Juli 2015

Guru Autis (sebuah torehan dari atas meja oleh mahasiswa) " tembus koran lokal"

Profesi guru atau pendidik memanglah sangat mulia dan bijaksana, jika seorang pendidik mampu mengetahui hakikat tugasnya sebagai manusia yang mampu melakukan transfer of knowladge, transfer of experience, transfer of value, transfer of ethics dan transfer banyak hal lain yang berkaitan dengan nilai-nilai pendidikan. Bukan hanya sekedar transfer ilmu saja namun lebih tepatnya seorang guru dituntut agar mampu mentransformasikan nilai-nilai yang luhur terhadap peserta didiknya. Sehingga sang murid mampu mengaplikasikanya pada setiap aspek kehidupan sehari-hari baik ketika ia bersama kawand sebayanya, orang tua dan lingkungan masyarakat disekitarnya. Guru adalah sosok yang akan ditiru oleh para siswa-siswanya, guru adalah agen motivasi bagi para murid-muridnya, guru adalah sosok yang multi peran, terkadang ia harus bisa berperan sebagai sahabat, terkadang juga menjadi orang tua, dan terkadang ia harus menjadi Pembina serta pemimpin bagi murid-muridnya .
Guru adalah insan yang membawa misi ketuhanan (pengajar segala kebaikan). Sempat muncul istilah guru adalah sebuah kata yang berasal dari dua suku kata yaitu “gu” dan “ru”, gu yang memiliki interpretasi di gugu (disanjung, ditinggikan, dan dimulyakan) dan ru yang artinya ditiru (di contoh, diikuti, dan di jadikan sebagai tauladan) maka seorang guru bukanlah seseorang yang hanya mampu berdiri tegap atau duduk didepan para peserta didiknya, dengan sibuk menyampaikan materi-materi yang ada pada conten buku-buku mata pelajaran atau sibuk dengan slide power point nya yang baru dibuatnya semalam yang lalu dengan berbagai kekurangan baik dari isi, persiapan dan seni mengajarnya. Bukan juga seseorang yang hanya sibuk dengan tunjangan profesi semata (tunjangan sertifikasi guru), dan juga bukan seseorang yang selalu kesiangan datang di sekolahnya, akibat terlalu sibuk mengurusi kepentingan pribadinya (usaha sampinganya), sehingga lupa akan janji pengabdian yang telah diembankan kepadanya oleh Negara untuk mencerdaskan para putra-putri bangsa.
Seorang guru yang memiliki kesadaran bahwa ia adalah seorang guru, tentu kurang etis jika proses pengabdian pendidikan tersebut dijadikan sebagai ajang mengharap balasan materi semata, padahal pengabdian tersebut harus memiliki dimensi makna lebih dari itu yakni “Focus Perubahan”, hal ini dikarenakan agar seorang guru dapat menjaga sebutan baiknya pada beberapa periode yang telah lalu akan ketenaran gelarnya sebagai “ Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”,. Bukan “Pahlawan Kesiangan Yang Bermodalkan Ijasah Dengan Selalu Berharap Akan Datangnya  Tunjangan Profesi Semata”.
Artinya seorang guru atau pendidik benar-benar dituntut untuk mengetahui bagaimna metode yang paling tepat dan akurat dalam proses mencerdaskan para anak didiknya dengan penuh keikhlasan, ketabahan, kesabaran, keceriaan, keaktifan dan penuh dengan kasih sayang dalam proses transformasi keilmuan dan perilaku, tanpa mengharapkan jasa kecuali apa yang telah menjadi haknya. Serta mampu  menciptakan mimpi-mimpi yang besar bagi para murid-murid nya sehingga setiap anak didik merasa diperhatikan dan dianak emaskan oleh para guru-gurunya tanpa diskriminasi sedikitpun.
Kemirisan ini yang menjadi bahan kontemplasi kita sekalian setiap individu yang masih merasa peduli terhadap kualitas pendidikan nusantara, yang masa ke masa mengalami degradasi moral dan intelektual dalam beberapa sisi, walaupun sudah banyak kemajuan dalam bidang teknolgi dan beberapa disiplin ilmu yang lainya, namun kita harus tetap mewaspadai apa yang menjadi musuh besar dan musuh bersama (cammon enemy) kita dan para anak cucu kita, yakni virus  kemalasan dan kebodohan menuju kehancuran moral.
Oleh sebab itu sudah saatnyalah harus segera ada perbaikan pada proses perekrutan dan seleksi para calon guru yang akan masuk pada setiap lembaga/istansi pendidikan yang ada pada setiap sudut-sudut nusantara, bukan berngkat dari nepotisme atau karna suapan. Agar kualitas pendidikan benar-benar terkonsep dengan matang dari segi perencanaan, pengawasan, pengorganisasian, dan pengawasan secara maksimal. Dan tentunya yang lebih penting lagi adalah agar tidak ada lagi “Guru-Guru Autis” disetiap kelas-kelas yang ada pada setiap lembaga pendidikan kita. Guru-guru yang sibuk dengan dirinya sendiri tanpa memperhatikan orang-orang disekitarnya yang dalam konteks ini adalah para peserta didiknya yang sedang mengawasi setiap gerak geriknya, memperhatikan apa yang diajarkannya, dan memikirkan apa yang telah diperbuatnya.  
Pada dimensi yang berbeda ada peserta didik yang senantiasa memprogres pengetahuanya dengan hal-hal baru yang diperolehnya dari berbagai macam literature, ialah yang selalu resah,  gelisah dan tak mendapat apa-apa kecuali hanya rasa lelah ketika ia harus melihat kelakuan beberapa para guru-gurunya yang terlalu jauh dari kata sempurna dalam proses pendidikannya. Murid yang selalu bertanya apa, bagaimna dan uuntuk apa kita disini (dikelas) bapak ibu guruku?.
Maka para guru idelnya ia harus memikirkan nasib pendidikan yang dijalani dan nasib peserta didiknya yang selalu ingin diperbarui dan direfresh kemampuan serta pengetahuanya. Mungkin salah satu solusinya ialah bahwa para guru harus mulai mengetahui dan mengidentifikasi beberapa kecerdasan yang dimiliki para peserta didiknya, sehingga ia bisa masuk kedunianya dan kemudian sang guru membawa para muridnya pada dunia pendidikan yang diinginkanya. Salah satu temuan terakhir Howard Gardner, psikolog terkenal dari Universitas Hardvard, yang melakukan riset intensif tentang kecerdasan manusia. Yang dewasa ini biasa disebutkan dengan istilah Multiple Inteligense atau “Kecerdasan Majemuk”.
Setidaknya para guru bisa memanfaatkan temuan tersebut sebagai salah satu indikasi dan metode pembelajaranya. Setiap kecerdasan dapat dipelajari dengan caranya sendiri. Artinya kecerdasan antara orang yang satu dengan lainnya adalah unik dan berbeda. Oleh sebab itu dalam menangani berbagai macam anak didik, guru harus pandai melihat potensi yang ada pada setiap muridnya. Guru dituntut untuk kreatif, pandai dan juga inovatif dalam mengajar, tidak hanya bersifat pasif dan mengganggap semua muridnya seperti patung yang hanya mendengarkan ceramahnya. Bisa juga sang guru mengaca pada beberapa Negara yang berhasil pada dimensi pendidikanya diantaranya Firlandia. Guru di Firlandia sukses sebagai seorang pendidik karena mereka lebih menekankan pembelajaran dengan menciptakan suasana kreatif, inovatif dan imajinatif di kelas bukan sebaliknya. Seorang guru dituntut agar mengajarkan pengetahuan kepada muridnya dengan cara semudah dan semenarik mungkin. Kreatifitas seorang guru harus di uji agar dapat menemukan metode pembelajaran yang tidak membosankan dan penuh mimpi-mimpi besar untuk sang murid atau peserta didiknya. Sudah tidak masanya lagi murid dijejali dengan materi yang panjang, monoton, dan sangat membosankan.

Untuk para guru yang masih merasa kurang maksimal dalam proses pembelajaranya, hendaknya ia mengkritiki dirinya sendiri, kemudian merubah metode pembelajaranya dengan metode yang lebih efektif dan efisien dalam proses pendidikan. Agar tidak lagi disebut “Guru Autis” oleh para muridnya, akan tetapi benar-benar menjadi panutan dan sang motivator bagi para peserta didiknya.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar