Profesi guru atau pendidik memanglah sangat mulia dan bijaksana,
jika seorang pendidik mampu mengetahui hakikat tugasnya sebagai manusia yang
mampu melakukan transfer of knowladge, transfer of experience, transfer of
value, transfer of ethics dan transfer banyak hal lain yang berkaitan dengan
nilai-nilai pendidikan. Bukan hanya sekedar transfer ilmu saja namun lebih
tepatnya seorang guru dituntut agar mampu mentransformasikan nilai-nilai yang
luhur terhadap peserta didiknya. Sehingga sang murid mampu mengaplikasikanya
pada setiap aspek kehidupan sehari-hari baik ketika ia bersama kawand
sebayanya, orang tua dan lingkungan masyarakat disekitarnya. Guru adalah sosok
yang akan ditiru oleh para siswa-siswanya, guru adalah agen motivasi bagi para
murid-muridnya, guru adalah sosok yang multi peran, terkadang ia harus bisa berperan
sebagai sahabat, terkadang juga menjadi orang tua, dan terkadang ia harus
menjadi Pembina serta pemimpin bagi murid-muridnya .
Guru adalah insan yang membawa misi ketuhanan (pengajar
segala kebaikan). Sempat muncul istilah guru adalah sebuah kata yang berasal
dari dua suku kata yaitu “gu” dan “ru”, gu yang memiliki interpretasi di
gugu (disanjung, ditinggikan, dan dimulyakan) dan ru yang artinya ditiru (di
contoh, diikuti, dan di jadikan sebagai tauladan) maka seorang guru bukanlah
seseorang yang hanya mampu berdiri tegap atau duduk didepan para peserta
didiknya, dengan sibuk menyampaikan materi-materi yang ada pada conten buku-buku
mata pelajaran atau sibuk dengan slide power point nya yang baru dibuatnya
semalam yang lalu dengan berbagai kekurangan baik dari isi, persiapan dan seni
mengajarnya. Bukan juga seseorang yang hanya sibuk dengan tunjangan profesi
semata (tunjangan sertifikasi guru), dan juga bukan seseorang yang selalu
kesiangan datang di sekolahnya, akibat terlalu sibuk mengurusi kepentingan
pribadinya (usaha sampinganya), sehingga lupa akan janji pengabdian yang telah
diembankan kepadanya oleh Negara untuk mencerdaskan para putra-putri bangsa.
Seorang guru yang memiliki kesadaran bahwa ia adalah seorang guru,
tentu kurang etis jika proses pengabdian pendidikan tersebut dijadikan sebagai ajang
mengharap balasan materi semata, padahal pengabdian tersebut harus memiliki dimensi
makna lebih dari itu yakni “Focus Perubahan”, hal ini dikarenakan agar
seorang guru dapat menjaga sebutan baiknya pada beberapa periode yang telah
lalu akan ketenaran gelarnya sebagai “ Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”,. Bukan
“Pahlawan Kesiangan Yang Bermodalkan Ijasah Dengan Selalu Berharap Akan
Datangnya Tunjangan Profesi Semata”.
Artinya seorang guru atau pendidik benar-benar dituntut untuk mengetahui
bagaimna metode yang paling tepat dan akurat dalam proses mencerdaskan para
anak didiknya dengan penuh keikhlasan, ketabahan, kesabaran, keceriaan,
keaktifan dan penuh dengan kasih sayang dalam proses transformasi keilmuan dan
perilaku, tanpa mengharapkan jasa kecuali apa yang telah menjadi haknya. Serta
mampu menciptakan mimpi-mimpi yang besar
bagi para murid-murid nya sehingga setiap anak didik merasa diperhatikan dan
dianak emaskan oleh para guru-gurunya tanpa diskriminasi sedikitpun.
Kemirisan ini yang menjadi bahan kontemplasi kita sekalian setiap
individu yang masih merasa peduli terhadap kualitas pendidikan nusantara, yang masa
ke masa mengalami degradasi moral dan intelektual dalam beberapa sisi, walaupun
sudah banyak kemajuan dalam bidang teknolgi dan beberapa disiplin ilmu yang
lainya, namun kita harus tetap mewaspadai apa yang menjadi musuh besar dan
musuh bersama (cammon enemy) kita dan para anak cucu kita, yakni
virus kemalasan dan kebodohan menuju
kehancuran moral.
Oleh sebab itu sudah saatnyalah harus segera ada perbaikan pada proses
perekrutan dan seleksi para calon guru yang akan masuk pada setiap lembaga/istansi
pendidikan yang ada pada setiap sudut-sudut nusantara, bukan berngkat dari
nepotisme atau karna suapan. Agar kualitas pendidikan benar-benar terkonsep
dengan matang dari segi perencanaan, pengawasan, pengorganisasian, dan
pengawasan secara maksimal. Dan tentunya yang lebih penting lagi adalah agar
tidak ada lagi “Guru-Guru Autis” disetiap kelas-kelas yang ada pada setiap
lembaga pendidikan kita. Guru-guru yang sibuk dengan dirinya sendiri tanpa
memperhatikan orang-orang disekitarnya yang dalam konteks ini adalah para
peserta didiknya yang sedang mengawasi setiap gerak geriknya, memperhatikan apa
yang diajarkannya, dan memikirkan apa yang telah diperbuatnya.
Pada dimensi yang berbeda ada peserta didik yang senantiasa
memprogres pengetahuanya dengan hal-hal baru yang diperolehnya dari berbagai
macam literature, ialah yang selalu resah,
gelisah dan tak mendapat apa-apa kecuali hanya rasa lelah ketika ia harus
melihat kelakuan beberapa para guru-gurunya yang terlalu jauh dari kata
sempurna dalam proses pendidikannya. Murid yang selalu bertanya apa, bagaimna
dan uuntuk apa kita disini (dikelas) bapak ibu guruku?.
Maka para guru idelnya ia harus memikirkan nasib pendidikan yang
dijalani dan nasib peserta didiknya yang selalu ingin diperbarui dan direfresh
kemampuan serta pengetahuanya. Mungkin salah satu solusinya ialah bahwa para
guru harus mulai mengetahui dan mengidentifikasi beberapa kecerdasan yang
dimiliki para peserta didiknya, sehingga ia bisa masuk kedunianya dan kemudian
sang guru membawa para muridnya pada dunia pendidikan yang diinginkanya. Salah
satu temuan terakhir Howard Gardner, psikolog terkenal dari Universitas
Hardvard, yang melakukan riset intensif tentang kecerdasan manusia. Yang dewasa
ini biasa disebutkan dengan istilah Multiple Inteligense atau “Kecerdasan
Majemuk”.
Setidaknya para guru bisa memanfaatkan temuan tersebut sebagai
salah satu indikasi dan metode pembelajaranya. Setiap kecerdasan dapat
dipelajari dengan caranya sendiri. Artinya kecerdasan antara orang yang satu dengan
lainnya adalah unik dan berbeda. Oleh sebab itu dalam menangani berbagai macam
anak didik, guru harus pandai melihat potensi yang ada pada setiap muridnya. Guru
dituntut untuk kreatif, pandai dan juga inovatif dalam mengajar, tidak hanya
bersifat pasif dan mengganggap semua muridnya seperti patung yang hanya
mendengarkan ceramahnya. Bisa juga sang guru mengaca pada beberapa Negara yang
berhasil pada dimensi pendidikanya diantaranya Firlandia. Guru di Firlandia
sukses sebagai seorang pendidik karena mereka lebih menekankan pembelajaran
dengan menciptakan suasana kreatif, inovatif dan imajinatif di kelas bukan
sebaliknya. Seorang guru dituntut agar mengajarkan pengetahuan kepada muridnya
dengan cara semudah dan semenarik mungkin. Kreatifitas seorang guru harus di
uji agar dapat menemukan metode pembelajaran yang tidak membosankan dan penuh
mimpi-mimpi besar untuk sang murid atau peserta didiknya. Sudah tidak masanya
lagi murid dijejali dengan materi yang panjang, monoton, dan sangat
membosankan.
Untuk para guru yang masih merasa kurang maksimal dalam proses
pembelajaranya, hendaknya ia mengkritiki dirinya sendiri, kemudian merubah
metode pembelajaranya dengan metode yang lebih efektif dan efisien dalam proses
pendidikan. Agar tidak lagi disebut “Guru Autis” oleh para muridnya, akan
tetapi benar-benar menjadi panutan dan sang motivator bagi para peserta
didiknya.